MALL BARU DI SERANG :
SEPENGGAL KENANGAN YANG HILANG YANG MENGHANCURAN BCB
DAN MEMBENTUK SIKAP HIDUP KONSUMTIF
Jika teringat teman-teman kalau sedang berkumpul, ada guyonan ketika membicarakan suatu tempat atau wilayah, dan ada seorang teman yang gak konsen mendengarkan lalu dia bertanya, “dimana?” Pasti dijawab, “Di dieu yeuh!!!“. Semua tertawa, akhirnya olok-olokan pun memanjang, “Dasar bolot!”, “Pasti dari kampung..!” dan lain sebagainya.
Terus bagaimana jika saya punya anak, dan anak saya membaca buku sejarah Banten, dalam buku tersebut mengulas tentang gedung MAKODIM, atau ada sesuatu yang membuat dia tahu tentang eks gedung MAKODIM. Dan jika dia penasaran, apa yang harus saya jawab ketika ada pertanyaan, “Dimanakah gedung MAKODIM yang dibangun dari batubata Surosowan?”
Walau bagaimanapun, jika kita berbicara tentang Surosowan, pasti eks gedung MAKODIM tersangkut. Karena, dibangun oleh Belanda dari batubata Surosowan. Surosowan dihancurkan, dan batubatanya digunakan untuk membangun gedung pusat perbelanjaan. Dimana alun-alun dan sekitarnya merupakan daerah pemukiman orang Belanda. Kemudian, pada masa kemerdekaan gedung pusat perbelanjaan orang belanda tersebut dijadikan MAKODIM (Markas Komando Daerah Militer).
Tapi setelah empat tahun Banten jadi provinsi—pembangunan memang butuh pengorbanan, MAKODIM dipindahkan ke lahan yang lebih luas. Dan gedung yang lama dijual (dijual??) dan dihancurkan, lalu dibangun Mall lima lantai termegah di Serang.
Apa mungkin saya jawab pertanyaan anak saya dengan, “Gedung eks MAKODIM itu.. DI DIEU YEUH..!”
[***]
..Rosihan Anwar, wartawan senior Indonesia, pernah mengatakan bahwa orang Indonesia suka lupa kepada sejarah masa lampau saking asyiknya dengan diri sendiri dan masa sekarang. Ucapan ini jelas bukan merupakan pujian untuk orang Indonesia. Lebih-lebih apabila dihubungkan dengan pendapat Alain Decaux, sejarawan Prancis, yang mengatakan, “Bangsa yang tidak memiliki kesadaran sejarah adalah bangsa yatim-piatu.” [kutipan dari buku berjudul Kampus Kabelnaya : menjadi mahasiswa di Uni Soviet, karya Koesalah Soebagyo Toer, pada bab sekapur sirih, paragraph ketiga di halaman ix, terbitan Kepustakaan Populer Gramedia].
Dari kutipan di atas, berarti Banten adalah bangsa atau daerah yang yatim-piatu, karena tak ada kesadaran sejarah di dalam kepala Pemerintah Daerahnya. Kasihan sekali anak saya beserta keturunannya, menjadi generasi yatim-piatu akibat “kebodohan” para Pejabat.
Saat pemutaran VCD berjudul Eks Gedung MAKODIM Riwayatmu Dulu di Rumah Dunia (o ya, semoga VCDnya tidak rusak, sehingga keturunan saya nanti bisa melihat eks gedung MAKODIM, serta perjuangan AWAK dan para budayawan yang mencintai Banten dalam mempertahankan utuhnya eks gedung MAKODIM), Mas Gong bilang, ”Malah ada seorang pejabat yang ngomong begini, nilai sejarah eks gedung MAKODIM di bawah Borobudur! Kacau, kan?”
Wah, kacau banget tuh pejabat! Sepertinya dia bukan orang Banten, seseorang yang tidak punya identitas. Tak banggakah ia pada jerih-payah leluhurnya? Kami nonton dengan mengurut dada, dan sesekali tersenyum dalam kegetiran karena melihat tingkah lucu AWAK dalam menyampaikan aspirasinya. Kami nonton di malam yang besoknya merupakan acara peletakan batu pertama untuk pembangunan Mall di atas tanah eks gedung MAKODIM.
Apa sih arti penting dari sebuah Mall? Apakah RTC (Rau Trade Center), Royal dan sekitarnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan belanja masyarakat Serang? Harus seberapa tinggi lagi daya konsumtif masyarakat ditingkatkan? Apa malu Serang tidak punya Mall? Apakah tidak melihat carut-marutnya Mall-mall di Cilegon? Apa mau meniru kesalahan tata-kota Cilegon? Orang-orang yang berduit tebel dan ingin belanja di Mall mewah, suruh belanja ke Jakarta aja, atau ke Tanggerang, atau minimalnya Cilegon. Beres!
Saya takut generasi nanti menjadi generasi konsumtif, walaupun modern tapi konsumtif. Lebih suka menongkrongi Mall daripada menongkrongi buku pelajaran. Hari libur lebih suka ngeceng ke Mall daripada jalan-jalan ke Musium atau Cagar Alam, ataupun Cagar Budaya. Gimana mau tidak, tiap hari libur, saya lihat Mall-mall di Cilegon penuh oleh orang tua yang membawa anak-anaknya main. Diajarinya mereka cara hidup konsumtif sejak dini. Makan di restoran fast food, diajarinya mereka untuk gengsi. Mall itu kan untuk belanja kebutuhan sehari-hari, yang ditujukan untuk orang sibuk, karena serba praktis, begitu pula dengan restoran fast food. Kenapa harus beralih fungsi?
Hey orang tua, atau orang yang kami tua-kan! Dewasalah, ajari kami berpikir realistis, maju, modern tapi tidak kampungan. Sudah cukup rasanya kami turun ke jalan untuk menyampaikan aspirasi. Tak pantas rasanya mengajari itik berenang, bahkan tak logis, tak etis!
Mengutip dari berita di harian Kompas, hari kamis tanggal 29 September 2005, di bagian properti, ada liputan khusus berjudul “Para Pemain Properti Konsolidasi” oleh Abun Sanda, di sebelah kiri gambar ada kata-kata keterangannya, yang berbunyi; “...Keputusan memilih sebuah tempat untuk bisnis properti adalah keputusan yang harus sangat matang.”
Wah, wah, wah.. Apakah orang-orang yang bertanggung-jawab terhadap pembangunan Mall Serang sudah mempertimbangkannya dengan sangat matang, ya..? Apakah mereka tidak memikirkan kemacetan yang akan timbul selain kemacetan yang sudah ada? Bagaimana dengan pedagang kaki lima yang akan menyerbu? Akankah kegiatan pemerintahan terganggu, karena dekat dengan gedung pusat pemerintahan? Bagaimana dengan Alun-alun sebagai public center?
Ketika berbicara Alun-alun, saya jadi ingat masa-masa SMP dulu, saya paling suka ke Alun-alun. Karena dekat dengan SMP tempat saya belajar, yaitu SMPN 7 Serang. Saya dan teman-teman paling suka olahraga di Alun-alun, apalagi jika guru olahraganya mengizinkan atau beliau berhalangan mengajar, pasti kami semua menuju Alun-alun. Entah itu mau main volley, basket atau main sepakbola. Lebih seru lagi jika ada anak dari SMP 2 yang ke Alun-alun juga, pasti kami mengajaknya adu sepakbola, tentunya izin dulu sama guru olahraga mereka. Asiknya, guru olahraganya pasti mengizinkan kami bertanding, setiap kali kami bertemu di Alun-alun untuk pelajaran olahraga.
Setiap hari minggupun saya sering ke Alun-alun setelah eskul. Apalagi di tahun pertama saya masuk SMP, pameran pembangunan masih bertempat di Alun-alun, sebelum dipindah ke GOR Maulana Yusuf Ciceri. Hampir tiap pulang sekolah saya main ke Alun-alun. Setelah lulus SMP pun saya masih main ke Alun-alun, entah untuk nongkrong di malam minggu, atau malam hari-hari libur lainnya, atau pada pagiharinya untuk berolahraga.
Tapi, jika setelah Mall Serang berdiri dan mulai beroperasi, apakah anak-anak SMP 7, SMP 2, dan anak-anak SDL masih bisa dan masih mau bermain di Alun-alun? Atau mereka memilih lebih baik nongkrong di Mall? Atau Alun-alun menjadi sesak oleh orang-orang yang nongkrong setelah pulang dari Mall, atau penuh sesak oleh orang-orang yang janjian, atau penuh sesak oleh pedagang kaki lima, atau penuh sesak oleh parkiran kendaraan?
Apakah mereka akan datang atau pulang lebih telat terjebak macet kendaraan yang lalu-lalang, keluar-masuk Mall? Atau mereka akan selalu pulang lebih telat setelah nongkrong dulu di Mall? Walaupun ada peringatan “yang berseragam sekolah dilarang masuk!” tetapi nongkrong itu kan bukan di dalam Mall..!
Pesan sponsor : Nasi sudah jadi bubur, eks gedung MAKODIM sudah hancur. Untuk sekedar mengenang eks gedung MAKODIM, datang saja ke Mall, bawa seluruh keluarga dan ceritakan bahwa di sini adalah tanah eks gedung MAKODIM yang dijadikan mall. Sambil bercerita, agar tidak bosan, nikmatilah berbelanja di mall serang. Semuanya lengkap, mulai dari fesyen, kebutuhan dapur sampai mainan. Jika anda sekeluarga cape, mampirlah ke restoran fast food yang ada di mall sambil menyelesaikan cerita anda. Jika anda melakukan itu semua, niscaya cerita sejarah tentang eks gedung MAKODIM akan melekat kuat pada seluruh anggota keluarga anda. Terima kasih. [tac-20062007]