(salah lagi, lagi-lagi salah!)
Manusia diibaratkan dengan sebuah lingkaran dengan dua warna yang seimbang, yaitu warna hitam dan putih. Di dalam warna hitam ada setitik warna putih, dan di dalam warna putih ada setitik warna hitam. Artinya, jika seseorang itu jahat, maka masih ada kebaikan di dalam dirinya, dan jika seseorang itu baik, maka di dalam dirinya tersimpan sebuah kejahatan. Tak ada yang sempurna dalam suatu kebagusan, dan tak ada yang sempurna dalam suatu kejahatan. Atau, manusia bisa dikatakan sempurna karena memiliki kejahatan dan kebaikan sekaligus. Kurang lebih begitu yang simpulkan filsuf Cina di masa lalu.
Tak aneh jika kita menemukan seseorang yang jahat—penjahat, tapi dia punya batasan-batasan tertentu dalam melakukan kejahatannya, atau bahkan akhirnya dia sama sekali tobat. Atau kebalikkannya, ada seseorang pemuka agama yang melakukan perbuatan asusila dan amoral. Tak penting, yang penting di akhir hayat adalah kita bisa melakukan perbaikkan-perbaikkan terhadap kesalahan-kesalahan tersebut. Jangan sampai mati konyol. Mati yang tidak diridhoi.
Orang yang bijak adalah; jika dia sering melakukan kesalahan, maka dia tidak akan pusing memikirkan kenapa dan kenapa dia berbuat salah, kemudian berlarut-larut terpuruk menyesali kesalahannya. Orang yang bijak adalah; dia memikirkan kenapa dia berbuat salah dan menambal kesalahannya tersebut agar tidak terulang kembali. Memang sih, jika first time melakukan sesuatu, maka itu akan menjadi bayang-bayang abadi sepanjang hidup. Apalagi suatu kesalahan, mungkin akan jadi trauma yang lumayan berkepanjangan dan akan terus berkelebat sepanjang hayat.
Analoginya begini, jika kebenaran bisa dilakukan berulang-ulang dan banyak, tentu saja kesalahan juga begitu. Tuhan menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan, bukan? Ada kebenaran, pasti juga ada kesalahan. Timbulnya kebenaran biasanya akibat dari adanya kesalahan. Penelitian-penelitian yang dilakukan para ilmuwan juga tidak langsung jadi, mereka melakukan kesalahan-kesalahan dulu, sehingga terus berinovasi hingga menghasilkan sesuatu yang bagus. Belajar dari pengalaman.
Ya, belajar dari pengalaman akan membuat seseorang bijak. Jika dia tidak egois dan sakit hati dalam menyimpulkan pengalamannya. Rasa dendam terhadap pengalaman-pengalaman hidup yang menyakitkannya akan membuatnya menjadi seseorang yang selalu berpikir negatif terhadap segala hal, dan merasa selalu tidak puas. Bukankah rasa tidak puas terhadap sesuatu yang didapat itu tanda dari orang yang tidak bersukur? [tac]
"Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihtatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang." (QS. Al-Mulk, 67:3)
Thursday, February 21, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment